Disusun Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Setelah sebelumnya
telah dibahas tentang obat/pengobatan
yang tidak membatalkan puasa, sekarang kita akan membahas tentang
hal-hal yang menyebabkan puasa batal:
1- Makan dan minum
dengan sengaja
Yang disebut makan dan
minum sebagai pembatal puasa adalah yang sudah makruf disebut makan dan
minum[1] yang dimasukkan adalah zat makanan[2] ke dalam perut (lambung) dan
dapat menguatkan tubuh (mengenyangkan)[3].
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan
minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan makan
dan minum di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam tubuh, di
mana darah ini adalah tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena
melakukan injeksi atau bercelak.”[4]
Jika demikian
sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut tidaklah
merusak puasa.[5]
Jika orang yang
berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairahradhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Apabila
seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan
puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”[6]
2- Muntah dengan
sengaja
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ
فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barangsiapa
yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia dalam keadaan
puasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja),
maka wajib baginya membayar qadha’.”[7]
Yang tidak membatalkan di sini adalah
jika muntah menguasai diri artinya dalam keadaan dipaksa oleh tubuh untuk
muntah. Hal ini selama tidak ada muntahan yang kembali ke dalam perut atas
pilihannya sendiri. Jika yang terakhir ini terjadi, maka puasanya batal.[8]
3- Mendapati haidh dan
nifas
Dari Abu Sa’id Al
Khudri radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ
وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah
wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari no. 304
dan Muslim no. 79).
Penulis Kifayatul
Akhyar berkata, “Telah ada nukilan ijma’ (sepakat ulama), puasa menjadi
tidak sah jika mendapati haidh dan nifas. Jika haidh dan nifas didapati di pertengahan
siang, puasanya batal.”[9]
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Jika
seorang wanita mendapati haidh dan nifas, puasanya tidak sah. Jika ia mendapati
haidh atau nifas di satu waktu dari siang, puasanya batal. Dan ia wajib
mengqadha’ puasa pada hari tersebut.”[10]
4- Jima’ (bersetubuh)
dengan sengaja
Yang dimaksud di sini
adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya secara sengaja dengan pilihan
sendiri dan dalam keadaan tahu akan haramnya. Yang termasuk pembatal di sini
bukan hanya jika dilakukan di kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur
manusia (anal sex) atau selainnya, seperti pada hewan
(dikenal dengan istilah zoophilia). Menyetubuhi di sini
termasuk pembatal meskipun tidak keluar mani.
Sedangkan jika
dilakukan dalam keadaan lupa dan tidak mengetahui haramnya, maka tidak batal
sebagaimana ketika membahas tentang pembatal puasa berupa makan.[11]
Dalil yang menunjukkan
bahwa bersetubuh (jima’) termasuk pembatal adalah firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah:
187). Tubasyiruhunna dalam ayat ini
bermakna menyetubuhi.
5- Keluar mani karena
bercumbu
Yang dimaksud mubasyaroh atau bercumbu di
sini adalah dengan bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa
pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani
tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi
lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa.
Muhammad Al Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk
pembatal jika mengeluarkan mani baik dengan cara yang haram seperti
mengeluarkan mani dengan tangan sendiri (onani) atau melakukan cara yang tidak
haram seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.” Lalu beliau katakan
bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan intim
(jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan dan membuat
puasa batal walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani seperti tadi
lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga beliau menambahkan bahwa
keluarnya mani dengan berpikir atau karena ihtilam(mimpi basah) tidak
termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak berselisih dalam hal ini, bahkan ada
yang mengatakan sebagai ijma’ (konsensus ulama).”[12]
Al Baijurimenyebutkan
bahwa keluarnya madzi tidak
membatalkan puasa walau karena bercumbu.[13]
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho
berkata, “Diharamkan mencium pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi
syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan
bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak mencium
pasangannya.”[14]
Konsekuensi dari
Melakukan Pembatal Puasa
Bagi yang batal
puasanya karena makan dan minum, muntah dengan sengaja, mendapati haidh dan
nifas, dan keluar mani karena bercumbu, maka kewajibannya adalah mengqadha’
puasa saja.
Sedangkan yang batal
puasa karena jima’ (bersetubuh) di siang bulan Ramadhan, maka ia punya
kewajiban qadha’ dan wajib menunaikan kafarah yang dibebankan pada
laki-laki[15]. Kafarah atau tebusannya adalah memerdekakan satu orang budak.
Jika tidak didapati, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,
maka memberi makan kepada 60 orang miskin.[16]
Semoga bermanfaat.
[Tulisan di atas dicuplik
dari Buku Panduan Ramadhan cetakan keenam tahun 2014 karya Ustadz Muhammad
Abduh Tuasikal yang dibagikan gratis kepada kaum muslimin, diterbitkan oleh
Pustaka Muslim Yogyakarta. Bagi yang ingin mendownload buku tersebut silakan
buka di sini]
—
[1] Merokok termasuk
pembatal puasa karena secara bahasa disebut syarbud dukhon (minum asap). Itu
artinya merokok sudah termasuk minum. Ini pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih
Al ‘Utsaimin yang disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin Jibrin
dalam Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 584.
[2] Dalam Lisanul
‘Arob disebutkan,
أكلت الطعام أكلاً ومأكلاً
“Aku
benar-benar makan dan yang dimakan adalah makanan.”
Ar Romaani dalam Al
Mishbahul Munir berkata,
الأكل حقيقةً بلع الطعام بعد مضغه، فبلع
الحصاة ليس بأكل حقيقةً
“Makan
hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika yang dimasukkan
adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan.”
Dalam Al Mufrodhaat Al
Ashfahani disebutkan,
الأكل تناول المطعم
“Makan
adalah mencerna makanan.”
Nukilan-nukilan pakar
bahasa di atas menunjukkan bahwa makan hanyalah dimaksudkan jika yang
dimasukkan itu makanan. Hal ini dikuatkan pula dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Puasa itu
meninggalkan makanan dan minuman.” (HR. Bukhari no. 1903).
[3] Yang juga termasuk
makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus
dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama
dengan makan dan minum. Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 72.
[4] Majmu’ Al Fatawa,
25: 245.
[5] Lihat pembahasan
dalam risalah Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh karya guru penulis, Syaikh
Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil.
[6] HR. Bukhari no.
1933 dan Muslim no. 1155.
[7] HR. Abu Daud no.
2380, Ibnu Majah no. 1676 dan Tirmidzi no. 720. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[8] Lihat Hasyiyah
Syaikh Ibrahim Al Bajuri, 1: 556.
[9] Kifayatul Akhyar,
hal. 251.
[10] Al Fiqhu Al
Manhaji, hal. 344.
[11] Lihat bahasan
dalam Al Iqna’, 1: 408 dan Syarh Al Baijuri, 1: 559-560.
[12] Lihat Kifayatul
Akhyar, hal. 251.
[13] Hasyiyah Al
Baijuri, 1: 560.
[14] Al Fiqhu Al
Manhaji, hal. 344.
[15] Lihat Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyah 28: 59-60 dan Shohih Fiqih Sunnah, 2: 108
[16] Kewajiban kafarah
tersebut dijelaskan pada hadits Abu Hurairah berikut, “Suatu hari kami pernah
duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi
lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istriku, padahal aku sedang puasa.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau
memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab,
“Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah
engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”.
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat
memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu
Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami
dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya,
aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan
bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku
berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak
ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari
keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat
gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah
makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111)
Lihat juga pembahasan
Syaikh As Sa’di dalam Manhajus Salikin, hal. 113.
No comments:
Post a Comment